Monthly Archives: October 2015

Trip Korea Selatan Part 2; Shinheungsa Temple dan Mount Seorak

Berikut kelanjutan dari cerita perjalan Gabriella Melisa atau biasa disapa Igeb di Korea Selatan. Silahkan Disimak!


Hari kedua di Korea Selatan, saya sudah cukup menyesuakan diri. Saya memang seringkali bermasalah dengan cuaca dingin. Untungnya Korea Selatan baru memasuki musim gugur jadi cuaca pagipun belum terlalu dingin. Setelah hari pertama mengunjungi pulau, hari kedua agendanya adalah trip ke Mount Seorak. Hanya dibutuhkan sekitar 30 menit menuju Mount Seorak dari resort tempat kami menginap.

Mount Seorak yang dalam Bahasa korea disebut Seolsan yang berarti gunung salju. Karena memang Mount Seorak terletak di ketinggian dan disaat musim dingin seluruh bagian gunung tersebut ditutupi salju. Musim dingin di Mount Seorak-pun sebulan lebih cepat dan sebulan lebih lama dari kota Seoul. Di Seoul musim dingin berkisar dari Desember sampai Februari, sedangkan di Mount Seorak musim dingin sudah dimulai dari Bulan November dan berakhir di Bulan Maret.

IMG_9640 IMG_9645 IMG_9597

Untuk naik ke Peak of the mountain kita mesti menggunakan cable car. Wow, that’s amazing dan sayapun awalnya sedikit takut. Sebelum ke cable car station kita lebih dulu diajak mengunjungi Shinheungsa Temple yang disana terdapat Golden Bronze Big Buddha Statue. Penduduk Korea sendiri mayoritas tidak mempunyai agama. Sisanya Buddha sebagai agama paling banyak, Christian dan juga beberapa menganut Islam.

IMG_9547 IMG_9542 IMG_9538

Setelah cukup foto-foto di kuil perjalanan dilanjutkan menuju cable car station. Disarankan kalau pergi dengan rombongan untuk reserve dulu tiket cable carnya karena kalau berakhir pekan di Mount Seorak antrian untuk naik cable car cukup ramai. Salah satu tour leader local kami juga mengatakan dia pernah mengantri sekitar 2-4 jam untuk meniki cable car. Untunglah rombongan kami sudah me-reserve jauh hari jadi tidak perlu mengantri lagi.

IMG_9559 IMG_9622

Nah, naik cable car ini juga cukup membuat saya merinding. Bayangkan, kita menaiki sebuah kendaraan kaca yang jalurnya menggunakan tali untuk menaiki puncak dengan kemiringan sekitar 30 derajat. Walaupun Cuma lima menit namun cukup memacu adrenaline. Kapasitasnya bisa memuat sekitar 50 – 60 orang.

Setelah sampai di Gunungnya, kita juga harus menanjak lagi sekitar 10 menit menuju puncak. Jangan khawatir, disini disediakan tangga dan dipagari, jadi cukup aman untuk menuju puncak.

Untuk pemandangan diatas jangan ditanya. Saya seperti sedang berada di Swiss (walaupun sebenarnya belum pernah ke Swiss). Puncak gunung ini sendiri adalah batu-batu kapur. Duh, saat saya kesana musim gugur-pun sudah dingin apalagi pas puncak in bersalju.

Mount Seorak

IMG_9428 IMG_9578

Satu lagi yang membuat saya impress dengan orang-orang Korea ini. Mereka semua kuat-kuat jalan. Sepanjang jalan menuju puncak saya selalu berpas-pasan dengan pasangan-pasangan lanjut usia, yang saya taksir umur mereka sudah mencapai 60an.

Setelah puas di Mount Seorak perjalanan dilanjutkan menuju kota Seoul yang berjarak sekitar 3 jam dari Mount Seorak.

Bye Mount Seorak

  • Gabriella Melisa, 2015

ke artikel sebelumnya : Trip Korea Selatan Part 1

Menyusuri Gang Rumah Abib

Setelah mendapat tantangan dari adik-adik di Aia Mati, yang kemudian kami sebut Kelompok Barajafilem, hari itu (24/10/2015) kami memutuskan untuk mulai memegang kamera. Tentu sebelumnya Albert Rahman Putra selaku leader dan juga fasilitator dalam agenda “me-residensi-kan diri” ini memberi pengarahan dulu kepada kelompok anak-anak ini mengenai praktek bermedia. Continue reading

Penayangan Indonesia Calling dan Lahirnya Kelompok Baraja Filem

Beberapa waktu lalu, melalui program penayangan filem reguler “Sinema Pojok” Komunitas Gubuak Kopi bersama kelompok anak-anak di Aia Mati, menayangkan filem Indonesia Calling atau Indonesia Memanggil. Sebuah dokumenter karya Joris Ivens yang dirilis pada tahun 1946. Filem ini merekam penggalangan solidaritas buruh pelabuhan di Australia, membantu buruh Indonesia dalam mempertahankan negara baru Indonesia. Continue reading

SINEMA POJOK #2 – INDONESIA CALLING

Indonesia Calling (Indonesia memanggil) 

Director: Joris Ivens | 1946 | Australia

English & Indonesia  | Subtext: Bahasa Indonesia

Durasi: 22 minutes

Indonesia Calling (Indonesia Memanggil) adalah sebuah filem dokumenter pendek Australia 1946, yang disutradarai oleh Joris Ivens dan diproduksi oleh Federasi Pekerja kemudian Waterside. Filem ini memberikan kilasan langsung pasca-Perang Dunia II Sydney sebagai serikat buruh pelaut dan pekerja pasisir menolak untuk melayani kapal-kapal Belanda (dikenal sebagai “Black Armada”) yang berisi senjata dan amunisi yang ditujukan untuk Indonesia untuk menekan gerakan kemerdekaan negara itu. Continue reading

Trip Korea Selatan Part 1; Pulau Nami dan Teddy Bear Farm

Kali ini kita akan menyimak nomor pertama tentang perjalan rekan traveler kita, Gabriella Melisa atau yang biasa disapa Igeb, di Korea Selatan. Perempuan tangguh yang sering mendapatkan perkerjaan sambil jalan-jalan ini seperti biasa akan berbagi pengalamannya kepada kita tentang cara menarik menikmati keindahan dunia ini. Semoga bisa menginspirasi rekan-rekan traveler semua! silahkan disimak! Continue reading

KURANGNYA RUANG DISKUSI FILEM DI KOTA KAMI

Oleh: Fauzia Fuaddy

Belum lama ini teman saya, Albert Rahman Putra, ketua dari Komunitas Gubuak Kopi, berkunjung ke salah satu event festival filem internasional di Ibu Kota, yakni ARKIPEL, Jakarta Internasional Documentary & Experimental Film Festival yang diselenggarakan oleh Forum Lenteng pertengahan Agustus lalu. Aber, begitu kawan – kawan memanggilnya. Seperti biasa setiap kepulangan rekan-rekan Komunitas Gubuak Kopi dari “jalan-jalan” kita akan berbagi pengalaman untuk saling menambah ilmu. Di kepulangannya beberapa waktu lalu, Alber berbagai tentang wacana dan perkembangan filem yang ia dapati dari komunitas atau kelompok yang hadir di sana, seperti Komunitas Pasir Putih, Akumassa, Kotak Hitam, dan komunitas pegiat seni media lainnya. Pada event Arkipel ini, Aber juga belajar bagaimana sebuah komunitas membangun kepedulian dengan menghasilkan suatu karya yang mungkin bisa dijadikan objek kritis masyarakat. Misalnya melalui Filem Dokumenter atau filem yang mungkin belum pernah kita jumpai di televise – yang mayoritas hanya menyajikan filem hiburan. Continue reading

Menjaring Ikan Di Muara Sumpur

Menjaring adalah cara yang biasa digunakan oleh penangkapo bilih di Sumpur. Namun sekarang aktivitas ini mulai berkurang karena susahnya untuk mendapatkan ikan sejak dua tahun terakhir. Ikan bilih berkurang secra drastis, menurut para nelayan hal ini diakibatkan oleh praktik-praktik ilegal fishing disekitar lokasi ini.

Processed with VSCOcam with g3 preset

Processed with VSCOcam with g3 preset

Suasana menjaring ikan bilih di Muaro Sumpur.

silahkan baca artikel terkait di akumassa :

Bilih: Ikan Kecil  Kita yang Hampir Habis, dan Keluarganya Di Perairan Toba

___________________________________

Koleksi foto: Albert Rahman Putra (2015) | akumassa bernas

Peluncuran Sinema Pojok

Sinema Pojok adalah sebuah bioskop non-komersial yang berbasis di Kota Solok, Sumatra Barat. Program ini merupakan inisiatif dari Komunitas Gubuak Kopi atas kebutuhan akan pengetahuan sinema, serta mendistribusikannya melalui kegiatan pemutaran film reguler. Film-film yang akan diputar oleh program Sinema Pojok ini adalah film-film yang bisa menjadi pilihan lain / alternatif untuk ditonton oleh publik. Program ini akan banyak menyediakan berbagai jenis film mulai dari film klasik, kontemporer, film panjang maupun pendek, film lokal maupun luar negri, film aktifisme, film experimental, film non arus utama, serta film-film yang dianggap penting dalam sejarah dunia. Ruang ini juga diadakan sebagai tempat bertemunya para pencinta film dan berbagi kecintaan tentang film serta sejarah sinema dunia.

DSC06440

Albert (Ketua Komunitas Gubuak Kopi) saat memperkenalkan program Sinema Pojok

Jum’at yang lalu, tepatnya pada tanggal 02 Oktober, Komunitas Gubuak Kopi menggelar acara grand opening program Sinema Pojok di Ruang Terbuka Hijau, Kota Solok. Dengan mengandalkan sosial media yang sedang marak dikalangan anak muda jaman sekarang, program ini cukup dikenal oleh media berkat bantuan @infosumbar, forum lenteng, dan juga Radio Fanesha 5 FM. Acara ini dibuka dengan pertunjukan perkusi oleh group Ethnic Percussion, Padang Panjang, dimeriahkan juga dengan penampilan arkustik pengamen jalanan pada acara penutupannya. Film yang ditayangkan pada malam pertama Sinema Pojok ini adalah Harimau Minahasa yang disutradarai oleh Andang Kelana & Syaiful Anwar. Film Harimau Minahasa ini berdurasi 63 menit. (lihat poster terkait: Poster Harimau Minahasa)

Film Harimau Minahasa sendiri berkisah tentang seorang pemuda rantau dari Jember yang bernama Ateng, bekerja di perkenbunan Pala, Minahasa Utara. Kultur Minahasa Utara sendiri mayoritas berupa identitas homogen dalam sebuah sistem keyakinan tertentu: tampak dari simbol-simbol yang menghiasi sepanang jalan pada halaman rumah-rumah penduduk. Namun, Budiono, nama asli pemuda tersebut, bisa diterima oleh warga untuk bekerja, dan tinggal di sebuah rumah perkebunan. Di perantauan, ia tak bisa mngungkiri keterikatan identitas asl muasal leluhurnya. Hal itu terungkap dalam alam bawah sadarnya; ia dirasuki leluhurnya sendiri. Dialog dalam peristiwa kesurupan itu mempertegas identitas asal tersebut; komunikasi yang tak terjembatani akibat perbedaan bahasa, identitas asal merupakan hal yang selalu hadir dan menyertai Ateng di manapun ia berada. Inilah sekilas ringkasan dari film Harimau Miahasa yang ditayangkan perdana oleh Komunitas Gubuak Kopi dalam program barunya Sinema Pojok.

DSC06463

DSC06458

Suasana menonton filem Harimau Minahasa karya Andang Kelana & Syaiful Anwar

12112453_1081210068557372_7430663820393748393_n

Fauzia saat membacakan deskripsi filem

12109224_1081209958557383_4551929353456943367_n

Pertunjukan dari Ethnic Percussion Padangpanjang

DSC06474

Pertunjukan kolaborasi kelompok seniman/pengamen jalan Kota Solok dengan Ethnic Percussion Padangpanjang.

DSC06527

Foto bersama: Komunitas Gubuak Kopi, Minangpalal (Bukittinggi), Mahasiswa Ummy (Solok), Ethnic Percussion (Padangpanjang) dan teman-teman penonton lainnya dari Padang, Solok, dan Padangpanjang

Harimau Minahasa dan Sinema Solok

Ateng tiba-tiba kehilangan dirinya, ia mengejang berlagak seperti harimau, mencakar, jungkir balik, lalu berbicara dalam bahasa Jawa. Tubuh itu kini mengaku sebagai eyangnya Ateng. Ateng kerasukan roh eyangnya. Entah benar entah tidak. Tapi ia benar-benar geram ketika bahasa Jawa nya dibalas dengan bahasa Indonesia oleh Andang (sutradara). Pertanyaan-pertanyaan eyang sering kali mendapat jawaban yang tidak nyambung, karena si Andang pun tak mengerti bahasa Jawa. Percakapan tidak terjembatani. Ia geram tapi tak berhenti bertanya.

Continue reading