Bilih: Ikan Kecil Kita yang Hampir Habis, dan Keluarganya Di Perairan Toba

Bilih adalah nama jenis ikan langka yang konon hanya hidup di perairan Danau Singkarak. Baru pada kisaran 2000-an, peneliti dari Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan Dan Perikanan, Departemen Kelautan Dan Perikanan, mengintroduksi spesies ini ke perairan Danau Toba. Di sana, bilih berkembang menjadi dua bentuk. Yang satu, berukuran lebih besar, sekitar dua sampai tiga jari orang dewasa. Yang lainnya berukuran biasa, satu sampai dua jari orang dewasa, mirip dengan bilih Singkarak, namun untuk dimakan rasanya jauh berbeda. Bilih yang berkembang di Toba tersebut, oleh masyarakat lokal disebut ikan Pora-pora, diambil dari nama ikan yang telah punah di sana. Ikan Pora-pora ini kemudian dijual lagi ke kampung halamannya, Singkarak. Di sini, keluarga yang berkembang biak di Toba itu lebih akrab disebut Bilih Medan. Rasanya lebih pahit, kadang hambar, dan ia juga beredar dalam kemasan berlabel Bilih Singkarak.

DSCF4077

Suatu ketika, seorang pedagang bilih di Ombilin, sedang memisah-misahkan ikan tersebut. Ia membagi ikan ukuran besar dan kecil. Ketika itu, saya bertanya, “Yang kecil ini Bilih Medan atau Bilih Singkarak?”

“Bantuaknyo samo se nyo. Tapi tu lah kadang yo ado jo nan tau kalau iko bilih Medan.” (Bentuknya sama saja. Tapi begitulah, kadang ada juga yang tahu kalau itu Bilih Medan).

***

Bilih yang kita maksud ini adalah ikan kecil yang kemudian oleh Pieter Bleeker diberi nama latin “Mystacoleucus padangensis. Seperti yang dideskripsikan Azhar (1993), sirip punggung bilih mempunyai jari-jari keras (berduri) yang rebah ke depan, kadang-kadang duri ini tertutup oleh sisik sehingga tidak kelihatan jika tidak diraba. Sirip dubur tidak mempunyai jari-jari keras, hanya terdapat delapan sampai sembilan jari-jari lemah; badan bulat panjang dan pipih, tinggi badan 2 – 3 cm, panjang badan maksimum 11,6 cm; sisiknya kecil-kecil dan tipis, terdapat 37-39 baris antara tengah-tengah dasar sirip punggung dan gurat sisi (lateral line); tubuh ditutupi oleh sisik yang berwarna keperak-perakan. Punggung dan ekor bagian sebelah sirip berwarna kehitam-hitaman.1

Pieter Bleeker (foto diakses dari Wikipedia).

Jenis ikan ini sebenarnya telah diabadikan dalam empat buku dengan nama berbeda oleh Bleeker. Pertama, ia mempublikasikannya dengan sebutan Capoeta padangensis (1852); kedua,Systomus (Capoëta) padangensis (1860); ketiga, Puntius (Capoëta) padangensis (1863); dan yang keempat, yang selalu digunakan oleh sebagian besar ilmuan hingga saat ini, adalah Mystacoleucus padangensis 1868.2 Masih soal nama, oleh Wikipedia Ensiklopedia Berbahasa Indonesia, dalam halaman “Bilih” dengan sub judul “Nama Lokal”, “Bilih” dibahasa-Indonesia-kan menjadi “Bilis”, kemudian menyebutnya sebagai adaptasi dari kata “iblis”. Bisa benar, bisa tidak. Oleh orang Minangkabau, iblis juga disebut dubilih. Tapi saya kawatir ini hanya berkembang di kalangan pengguna Wikipedia saja. Istilah “bilih” sebagai adaptasi dari kata “iblis” ini tidak berkembang demikian di nagari-nagari sekitar Singkarak ataupun di Minangkabau secara umum, dan malanganya juga tidak ada argumen tandingan tentang latar belakang nama bilih tersebut. Sementara, menanggapi hal itu, nelayan-nelayan Singkarak setuju dengan bapak saya: “Aah! Paling itu karangan saja,” katanya.

Penyebutan nama itu, sepertinya, sudah mengalir dari generasi ke generasi tanpa legenda. Tapi tidak dipungkiri, keberadaanya melegenda setelah Guther mengklaim ikan yang dideskripsikan Bleeker ini adalah sepesies endemik (langka) Singkarak.

Bleeker adalah seorang dokter, ahli ikan dan amfibi, berkebangsaan Belanda. Pada tahun 1842 hingga 1860, ia ditugaskan dalam regu medis angkatan darat di Hindia Belanda. Di Hindia Belanda, atau yang sekarang Indonesia, Bleeker aktif mengumpulkan dan mendata jenis-jenis ikan di sela tugas-tugas pokoknya sebagai medis militer. Dialah orang pertama yang mempublikasikan berbagai jenis ikan di Indonesia. Selama di Indonesia, ia telah mendeskripsikan lebih dari 12.000 jenis ikan di negeri ini. Termasuk diantaranya ikan dengan sebutan “bilih” tadi. Bleeker tidak menyebut secara spesifik lokasi-lokasi ikan yang ia temukan. Dari 24 spesies baru yang ia temukan di Sumatera (di luar Bangka, Nias, dan Kepulauan Riau), ia hanya menyebut Benculen (Bangkahulu atau Bengkulu), Lahat,  Lematan-Enim (Muaraenim), Padang, Palembang, Priaman (Pariaman), Siboga (Sibolga), Telok betong (Teluk betung), Ticu (Tiku), Trussan (Tarusan), dan Bengkalis.3 Baru belakangan, para ilmuan menegaskan jenis ikan yang dimaksud Bleeker dengan sebutan Mystacoleucus padangensis itu adalah ikan bilih yang menjadi endemik perairan Singkarak. Orang-orang sangat membanggakan kenyataan bilih sebagai spesies endemik itu, lalu melambungkan namanya dengan slogan: “Ke Singkarak, jangan lupa beli Bilih, ikan asli khas Singkarak”.

Sebelumnya, konon ada juga yang mengklaim, bahwa Bilih yang bernama latin Mystacoleucus padangensis itu juga ditemukan di perairan Amazon. Tapi, lagi-lagi saya kawatir, karena tidak ada sumber yang relevan untuk membuktikan informasi itu. Ini barang kali terjadi karena penamaan yang berulang oleh Bleeker, atau mungkin karena ada ikan yang satu marga (genus) sebagai Mystacoleucus.

Ikan bilih, di kalangan ilmuan perikanan sendiri, pedagang, atau masyarakat umum, lebih dikenal sebagai makanan dan komoditas perikanan yang memiliki nilai tinggi dari segi ekonomi. Jarang sekali ada yang membicarakannya sebagai makhluk hidup atau ikan-ikan hias, dan sebaginya. Ia sering ditempatkan sebagai objek layak jual dan dikonsumsi. Namun, sayang sekali, dua tahun terakhir ini, beberapa media memberitakan, bahwa ikan endemik ini sedang terancam punah.

Suatu hari, saya bertemu dengan Pak Alex. Dia adalah anak dari Datuak Kayo, pemilik hotel yang cukup ternama di Singkarak. Selain itu, Datuak Kayo juga mendirikan usaha dagang Sumpur Makmur, semacam bisnis pengolahan bilih untuk didistribusikan ke pasaran. Kini, sementara Datuak Kayo sibuk di luar kota, hotel dan usaha itu di kelola oleh Pak Alex.

Jpeg

Plang Usaha Dagang yang dikelola Pak Alex.

Banyangin aja…!” kata Pak Alex, di Lobi hotelnya, pada 22 Juni 2015. “Dulu (tahun 2013—red), sehari kita mengolah 1000 liter bilih dari para nelayan, sekarang untuk 10 liter saja, susah didapatkan.”

Pernyataan Pak Alex ini diakui juga oleh para nelayan Sumpur. Sebelumnya, satu orang nelayan bisa menangkap bilih sebanyak 20 hingga 30 liter per hari. Kemudian, sekitar tahun 2013, angka itu menurun menjadi 10 liter per hari. Sedangkan sekarang, untuk mendapatkan satu liter saja, susahnya minta ampun. Kalau pun 10 liter sehari itu terkumpul, pengusaha muda ini tidak berani ambil risiko.

“Bilih itu kita freezer, nggak diformalin. Kita menggoreng pakai minyak, pakai kompor, pakai tenaga kerja. Kini, dengan nilainya yang sangat tinggi itu, kita mau jual berapa di pasaran?”

Bilih basah, sebelumnya, sekitar tahun 2013, oleh para nelayan, satu liternya dijual Rp7.000,-, sedangkan sekarang dijual hingga harga Rp20.000,-. Dari harga yang tujuh ribu itu, setelah diolah, biasanya Pak Alex menjual hanya 18-20 ribu per kilo, sedangkan jika masih tetap berproduksi—dengan harga bilih basah yang sudah naik—maka bilih siap santap akan dijual hingga Rp65.000,-.

“Siapa yang mau beli? Apa lagi sekarang, orang-orang tahu, di antara Bilih Singkarak yang beredar, sekarang ada Bilih Medan.”

***

Nagari Sumpur adalah desa pertama untuk memasuki daerah-daerah bagian barat Danau Singkarak bagi mereka yang datang dari arah utara. Dua minggu lalu, saya duduk di sebuah kedai di sana. Sebuah mobil yang mengangkut ikan dengan seri nomor polisi BK (plat nomor Sumatera Utara) lewat di depan kedai. Setiap orang di kedai mengikuti arah mobil tersebut dengan tatapan mereka, lalu mengobrol kembali. Pada Pak Madi saya bertanya, ikan apa yang diangkut oleh orang mobil tadi.

“Bilih Medan,” jawabnya.

“Mau dibawa kemana?” tanya saya.

“Saya juga kurang tahu, mungkin ke Malalo, mungkin ke Muaoro Pingai, mungkin ke Saningbaka.”

Ikan-ikan tersebut dibawa ke usaha dagang pengolahan bilih, seperti yang dikelola Pak Alex. Usaha yang di kelola Pak Alex hingga saat ini menjadi satu-satunya usaha dagang di Sumpur, tapi sekarang tidak aktif lagi sejak kurangnya stok bilih. Sehingga, kebanyakan para nelayan menjual ikannya ke pasar Padangpanjang, Ombilin, atau ke usaha dagang pengolahan bilih milik desa tetangga.

Krisis ikan bilih tidak hanya dirasakan di Sumpur saja, tapi juga di setiap lingkaran Danau Singkarak. Beberapa usaha dagang yang ada, akhirnya, memilih menyerah dan berharap keberadaan bilih bisa kembali normal, seperti yang diharapkan juga oleh Pak Alex. Dan sisanya, masih tetap mengembangkannya hingga saat ini. Kebanyakan dari mereka mencampurnya dengan bilih yang datang dari Medan.

Bilih Medan harganya tidak terlalu mahal. Satu kotak/pes.4 itu biasanya cuma Rp40.000,-. Pak Alex mengaku tidak mau mencampurnya dengan Bilih Medan. Ia lebih memilih vakum dan memulangkan setiap karyawannya.

“Sebelum ini, kita punya reputasi yang cukup baik, sertifikat kita baik, kita tidak memakai formalin, ikannya asli dari Singkarak semua, kami tidak ingin pelanggan merasa tertipu.”

Sebelumnya, Pak Alex bercerita, kalau Dinas Perikanan Provinsi pernah mengatakan langsung padanya bahwa rata-rata ikan yang dibawa dari Medan sudah diformalin. Tidak baik lagi untuk kesehatan.

“Coba aja taroh di depan kucing, mereka tidak akan mau makan!” serunya.

Pernyatan Pak Alex ini mengingatkan saya pada suatu malam di Ombilin, di salah satu kedai penjual ikan Bilih. Waktu itu, seorang ibu dan anak perempuannya tengah memilah ikan dari dalam pes ikan, kemudian menyusunnya di lapak berdasakan ukuran. Dari mereka, saya tahu ikan yang keluar dari pes itu adalah Bilih Medan, yang satu ukuran besar, dan yang kecilnya sebesar Bilih Singkarak. Saya sempat ragu, maka saya bertanya.

“Yang kecil ini Bilih Medan atau Bilih Singkarak?”

“Bantuaknyo samo se nyo. Tapi tu lah kadang yo ado jo nan tau kalau iko bilih Medan.” (Bentuknya sama saja. Tapi begitulah, kadang ada juga yang tahunya kalau itu Bilih Medan).

Penyataan si ibu itu seakan menunjukan kebenaran isu, bahwa banyak orang yang menjual Bilih Medan dengan label Bilih Singkarak. Dari segi fisik, Bilih Medan, atau ikan pora-pora kecil, memang sangat mirip dengan Bilih Singkarak. Hanya saja, ikan pora-pora sedikit lebih pucat atau lebih putih. Perbedaan yang paling menonjol adalah dari soal rasa, ketika ia dimakan. Bilih Medan biasanya lebih pahit, dan kadang hambar. Tapi, mengenai itu, ibu dan anak ini sebenarnya punya trik khusus untuk memasaknya agar rasanya tidak terlalu berbeda. Biasanya, setelah dibelah dan dibersihkan, bilih dijual begitu saja. Tapi, kalau ingin Bilih Medan terasa seperti Bilih Singkarak, menurut ibu penjual ikan ini, sebaiknya setelah direndam, ikan pora-pora dilumuri garam terlebih dahulu beberapa menit, sampai garamnya benar-benar meresap, lalu dicuci lagi, dan siap untuk digoreng.

***

Di kedai di daerah Sumpur, kepada Pak Madi, saya bilang bahwa saya ingin melihat orang-orang menangkap ikan bilih. Di wajahnya muncul raut kecewa, “Sekarang tidak ada lagi orang menangkap bilih,” katanya. “Paling ada dua atau tiga orang saja yang masih menangkap.”

“Loh, itu ada?”

“Iya. Cuma itu. Kalau dulu, banyak sekali.”

Kalimat Pak Madi rasanya menggantung pada kemungkinan yang kiranya sudah ia tebak. Seakan semua orang telah menyerah menangkap bilih, dan tiga orang ini adalah orang terakhir yang ia taksir tak lama lagi akan menyerah juga.

Hasil tangkapan nelayan pengguna jaring di Muara Sumpur.

Hasil tangkapan nelayan pengguna jaring di Muara Sumpur.

Sore itu, saya dianjurkan oleh Pak Madi mengunjungi muara Sumpur. Di sana, sebagaimana ucapannya, saya memang masih menemui ada tiga orang yang masih menangkap bilih menggunakan jaring. Biasanya, bilih naik.5 terjadi sekitar pukul 16.00 hingga dini hari. Sore itu, si tiga nelayan melemparkan jaringnya. Salah satunya Malin (bukan nama sebenarnya). Ia baru saja melempar jaring dan hanya membawa satu ekor ikan. Kadang, cuma bawa daun-daun hanyut, katanya. Malin menggunakan jaring dengan ukuran ¾ inci. Menurut peraturan Pemerintah dan Nagari, jaring seukuran itu tidak dibolehkan, karena ia juga akan menangkap anak-anak ikan yang belum ‘matang’ atau belum layak untuk dipanen. Ukuran jaring yang ideal, berdasarkan anjuran Pemerintah, adalah jaring 1 inci. Namun, jaring itu sulit sekali untuk mendapatkan satu liter ikan. Jaring itu cukup berat, selingkaran jaring itu diberi pemberat berupa rantai. Setiap setelah melemparnya, jaring itu dirapikan kembali agar ia terbuka merata setelah dilempar, kemudian dibiarkan sekitar 5 menit lalu ditarik. Ikan yang tertangkap dikeluarkan, lalu jaringnya dirapikan lagi. Waktu itu, saya menghitung totalnya, setiap satu kali lempar butuh waktu lebih dari sepuluh menit. Bagi saya, dengan tenaga yang demikian untuk melempar jaring, tidak sebanding dengan satu ekor bilih yang didapat. Apalagi kita tahu, tahun-tahun sebelumnya, satu kali lempar bisa dapat puluhan ekor. Wajar jika akhirnya banyak penangkap bilih yang depresi dan memilih mundur.

***

Dari kaca mata pasar, degradasi bilih sebenarnya tidak hanya terjadi dalam segi kuantitatif, tetapi juga kualitatif. Sekarang, bisa dikatakan bahwa bilih sudah hampir habis sebelum ia sempat bereproduksi. Tidak ada strategi dan tata cara pemilihan dalam tindakan penangkapan bilih. Dinas Perikanan menyebutkan, bahwa bilih sudah dipanen sebelum usia matangnya (growth fishing). Sejak tahun 2000, selain jumlahnya yang berkurang, hasil tangkapan ikan bilih yang dipanen pun semakin tahun semakin kecil (Barus, 2011).

Menurut Kartamihardja, seperti yang dikutip Barus, ikan bilih melakukan reproduksi atau pemijahan dengan mengikuti aliran air di sungai yang bermuara di danau. Induk jantan dan betina dari danau berupaya ke arah sungai melawan arus di dasar. Biasanya, pemijahan dilakukan di dasar perairan sungai yang jernih, berbatu kerikil, atau pasir. Di sana, betina melepaskan telur dan di waktu bersamaan, jantan melepaskan sperma untuk membuahi telur. Telur yang telah dibuahi tenggelam di dasar sungai (di kerikil atau pasir) untuk kemudian hanyut terbawa arus air masuk ke danau. Telur-telur tersebut akan menetas di danau sekitar 19 jam setelah dibuahi pada suhu air antara 27,0-28,0°C, dan larva berkembang di danau menjadi dewasa. Populasi ikan bilih memijah setiap hari sepanjang tahun, mulai dari sore sampai dengan pagi hari. Puncak pemijahan ikan bilih terjadi pada pagi hari, mulai dari jam 05.00 sampai dengan jam 09.00 (Barus, 2011).

Roma Ikhsan, dalam jurnalnya, mencatat bahwa sepuluh tahun yang lalu, di muara Sumpur dan Paninggahan, ikan bilih ditangkap setiap hari dengan menggunakan jala tebar, dari pukul 15.00 WIB sampai pukul 07.00 WIB. Frekuensi penangkapan ini sangat tinggi. Rata-rata hasil tangkapan nelayan selama 8 jam kerja berkisar antara 15 hingga 20 liter per nelayan. Penangkapan ikan bilih dengan jala tebar ini, menurut Roma, mengancam kelimpahan stok ikan bilih untuk jangka panjang, karena kegiatan penangkapan yang dilakukan nelayan dari sore hari hingga pagi hari di muara sungai ini, telah menyebabkan tertangkapnya ikan-ikan bilih sebelum mereka sempat memijah.6

Salah satu pemandangan di Muara Sumpur.

Salah satu pemandangan di Muara Sumpur.

Sebenarnya, sudah cukup banyak peneliti yang mencoba memecahkan persoalan degradasi bilih di Singkarak ini. Ada banyak faktor yang memengaruhi degradasi drastis bilih tersebut, terutama dari aspek frekuensi dan metode penangkapannya. Dari sekiaan banyak desa atau nagari di sekitaran Singkarak, setidaknya terdapat sepuluh nagari yang aktif menangkap Bilih, diantaranya adalah Nagari Sumpur, Guguak Malalo, Paninggahan, Muaro Pingai, Saniangbaka, Tikalak, Singkarak, Simawang, Padang Laweh, dan Batu Taba. Setiap nagari itu pun mengembangkan metode penangkapan yang berbeda-beda. Gaya penangkapan menggunakan jaring, misalnya, metode ini dilakukan hampir di seluruh lokasi, termasuk Sumpur. Kemudian, alat penangkapan jala, biasanya digunakan oleh masyarakat nagari sebelah utara danau, yakni Sumpur dan Guguak Malalo. Dua alat tersebut adalah metode yang paling banyak digunakan nelayan penangkap Bilih Singkarak. Namun, sebenarnya ada banyak cara tangkap lainnya yang pernah dilakukan masyarakat sekitar. Misalnya, menggunakan alahan, semacam penyaringan tradisional yang terbuat dari susunan lidi/bilah. Alat ini dibangun semi permanen untuk memperkecil ruang lingkup air di perairan yang tidak deras di muara sungai. Alat tangkap ini dibatasi dengan kerikil atau batu-batu kecil, lalu ditaburi umpan agar ikan naik ke atas (dari danu ke sungai). Lalu, ikan-ikan dihalau mundur, atau kembali ke danau sehingga tersangkut di alahan tersebut. Cara ini sebenarnya tidak banyak dilakukan oleh penangkap bilih, terutama karena muara sungai sering mengering dan kadang terlalu dalam. Penggunaan alahan ini biasanya dilakukan oleh penangkap ikan di sekitar muara sungai, seperti di Nagari Muaro Pingai dan Paninggahan di selatan Singkarak, dan Nagari Sumpur dan Malalo di utara Singkarak.

Nelayan penangkap ikan bilih dengan alat tangkap jaring dari atas sampan.

Nelayan penangkap ikan bilih dengan alat tangkap jaring dari atas sampan.

Salah satu nelayan pengguna jaring di Muara Sumpur.

Salah satu nelayan pengguna jaring di Muara Sumpur.

Lain halnya dengan masyarakat Saniangbaka. Desa ini juga memiliki aliran sungai yang cukup luas dan dangkal untuk menuju ke Singkarak. Tapi mereka tidak menggunakan alahan untuk menangkap Bilih, melainkan lukah. Bentuknya hampir sama dengan alahan, hanya saja lukah tidak dipasang semi permanen. Ia sangat mudah diangkat dan dipindahkan. Wilayah tangkapnya juga tidak seluas alahan sehingga memungkinkan banyak orang ikut menangkap tanpa berebutan tempat. Sungai sebelumnya telah dibagi dan diberi alur, agar penangkapan menjadi lebih mudah dan tidak berebutan. Namun, jumlah tangkapannya tidak jauh berbeda dengan gaya tangkapan lainnya, di mana secara kuantitas, jumlah tangkapan juga mengalami penurunan drastis.

Selain cara dan alat yang disebut di atas, beberapa cara yang juga sudah jarang digunakan, adalah setrum, racun, dan bom. Sebenarnya, dengan metode ini, nelayan bisa mendapatkan ikan lebih banyak, tapi dianggap sebagi metode yang ilegal dan tidak ramah lingkungan sehingga penggunaan metode ini sudah sangat jarang sekali ditemukan, walau mungkin ia tidak habis.

Tahun lalu, Nova, anak Pak Mali, pernah memberi saya bocoran soal itu. Waktu itu, sepulang kuliah, saya datang ke warungnya dengan baju kemeja setelan rapi dan membawa satu kamera. Sebenarnya, saya ingin mengambil gambar para nelayan memanen bilih dan pensi. Biasanya, setelah panen mereka akan menepi dan mampir di kedai Nova. Tapi waktu itu Nova tertawa. Menurut dia, para nelayan ini sengaja menghindari saya. Mereka, barang kali, mengira saya adalah petugas pemantauan nelayan danau.

Sejak tahun 2013, memang beberapa petugas dari Dinas Perikanan Provinsi dan Polisi Perikanan sering memantau praktik-praktik ilegal fishing di Danau Singkarak. Sekitaran tahun itu memang masih terjadi praktik pengeboman dan racun. Pengeboman itu biasanya dilakukan di tengah-tengah danau. Kata Nova, biasanya praktik itu bisa terlihat dari tepian danau.

“Ketika di tengah danau terlihat cahaya seperti pelangi, dalam waktu sekejap, itu berarti ada yang sedang meledakan bom,” katanya, menerangkan.

Nelayan yang biasanya mampir ke kedai Nova, waktu itu, saya kira tidak melakukan praktik ilegal fishing. Mereka adalah penangkap pensi dan pengguna jala. Tapi mereka tetap ketakutkan kalau ada orang yang tampak seperti petugas. Mereka sepertinya tidak pernah tahu mana yang ilegal dan legal. Mereka hanya melakukan yang mereka bisa, dan mungkin, dari pada dituduh melakukan hal yang salah, mereka memilih lebih baik menghindar.

***

Seperti halnya pengeboman, racun, dan setrum, cara dengan menggunakan jaring/jala itu tumbuh dengan sendirinya di kalangan para nelayan. Semacama inisiatif atau hasil memeras otak untuk bertahan hidup. Namun, tiba-tiba hal tersebut di-judge sebagai sesuatu yang ilegal. Penetapan bom, setrum, dan racun sebagai cara yang ilegal, memang didasari oleh dampaknya yang ternyata merusak biota dan ekosistem danau, juga bisa saja membunuh bilih atau ikan langka ini tanpa pandang usia. Lain halnya dengan jaring. Jaring yang dianjurkan oleh pemerintah disebut jaring langli. Jaring ini memiliki ukuran sekitar satu inci. Sehingga bilih-bilih yang kecil (ikan bilih yang masih anak-anak) bisa lolos. Dengan demikian, keseimbangan populasi bilih semestinya masih tetap bisa terjaga.

Jaring langli terbuat dari nilon. Pada jaring ini, terdapat pemberat dan pelampung. Pelampung terbuat dari gabus yang tidak menyerap air, dan pemberatnya terbuat dari logam. Ukuran nilon atau benang jaring langli ini ada dua macam, yaitu ¾ inci dan 1 inci. Namun, sejak tahun 2007, jaring yang diizinkan oleh Pemerintah memang hanya jaring yang berukuran 1 inci. Karena seperti halnya bom, racun, dan setrum, jaring yang lebih kecil dikhawatirkan juga akan mengangkut anak bilih.

Selain jaring langli, alat yang juga diaggap ramah lingkungan atau yang dianjurkan Pemerintah adalah jala, yang juga terbuat dari nilon. Bedanya, jala menggunakan pemberat berupa rantai, dan biasanya digunakan oleh nelayan dari atas sampan atau biduk dengan cara dilempar. Tapi ada juga yang tidak mengunakan sampan, biasanya di daerah-daerah muara sungai, seperti di Sumpur dan Saningbaka. Setelah jala dilempar, nelayan akan mendiamkan jala itu kurang dari lima menit, kemudian mengangkatanya kembali ke permukaan air.

Cara menangkap ikan terbaru, termasuk ikan bilih, adalah dengan menggunakan alat yang disebut Keramba Jaring Apung (KJA) atau yang oleh masyarakat lokal disebut bagan. Alat ini sebenarnya lebih terkenal digunakan di danau Maninjau. Baru sekitar tahun 2013, alat ini berkembang pesat di Singkarak. Penggunaannya pun sederhana, modalnya cukup besar, dan juga memunculkan banyak kontradiksi.

Keramba Jala Apung (KJA) yang digunakan sebagai alat budidaya ikan di Muaro Pingai.

Keramba Jala Apung (KJA) yang digunakan sebagai alat budidaya ikan di Muaro Pingai.

KJA atau Bagan (jenis alat tangkap ikan).

KJA atau Bagan (jenis alat tangkap ikan).

Dari tepian Danau Singkarak, kita bisa melihat jejeran alat tangkap ikan bilih berupa bagan ini. Terutama di daerah Muaro Pingai dan Malalo. Biaya pembuatannya cukup mahal, bisa mencapai 5 sampai 10 juta rupiah. Ia diapungkan oleh drum besar dan benen. Lalu di tengahnya diberi lampu untuk memancing agar ikan berkumpul di tengah bagan. Ukuran bagan biasanya 4×4 meter hingga ukuran 6×6 meter. Dengan bagan ini, biasanya ikan dipanen pada dini hari sekitar pukul dua. Menurut para nelayan, jam tersebut adalah waktu ikan-ikan akan berkumpul di dekat cahaya. Biasanya, dengan satu bagan, para nelayan mampu menangkap sekitar 30 liter ikan per hari.

Sebenarnya, beberapa nelayan pernah mengeluhkan keberadaan bagan ini. Keberadaannya yang cukup banyak memakan tempat, menyulitkan nelayan lain untuk membentangkan jaring apung di tepian danau. Mereka harus pergi ke tengah danau agar jaring apung mereka tidak terganggu untuk menangkap ikan.  Selain sebagai alat Tangkap di Singkarak, juga terdapat KJA sebagai alat budidaya. Awal 2015 lalu, banyak petani ikan yang mengalami kerugian. Ikan-ikan yang mereka budidayakan di Keramba Jaring Apung (KJA) tiba-tiba teler, dan sekitar puluhan ton ikan mereka mati terapung.7 Kejadian seperti ini sebenarnya sudah jauh-jauh diprediksi oleh peneliti lokal, karena kejadian serupa sudah kerap terjadi di Danau Maninjau. Profesof Hafrijal Syandri, pakar perikanan dari Universitas Bung Hatta, sebelumnya pada tahun 2011 lalu, pernah mengingatkan hal ini sebagai respon akan diadakannya KJA di Danau Singkarak. Menurut Hafrijal, hal ini kemungkinan akan memicu ledakan populasi fitoplankton hingga kurangnya oksigen di permukaan, akibat dari naiknya konsentrasi kandungan pada pakan ikan dalam keramba jaring terapung, seperti fosfor, belerang, nitrit, dan nitrogen. Pencemaran air di Danau Singkarak itu, pada akhirnya, dikhawatirkan akan mengganggu populasi ikan-ikan lainnya, termasuk ikan bilih.8

Visual yang tampak jika mengambil gambar di Bagan di tengah danau.

Visual yang tampak jika mengambil gambar di Bagan di tengah danau.

Keberadaan KJA sebagai budidaya dikhawatirkan akan membahayakan keberadaan ikan bilih sebagai spesies langka. Tapi di lain pihak, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Barat, Yosmeri, pada tahun 2011 mengatakan, bahwa budidaya dengan KJA ini perlu dilakukan untuk membantu perekonomian masyarakat di sekitaran danau. Menurutnya, ini juga dilakukan untuk menyelamatkan bilih dari kepunahan. Karena, dalam budidaya KJA ini, ikan yang dibudidayakan adalah ikan jenis nila sehingga nelayan tidak perlu lagi menangkap bilih secara berlebihan (Kompas.com, 2011). Menyikapi soal itu, Hafrijal lebih menyarankan untuk memaksimalkan populasi bilih saja, daripada membangun KJA. Tapi sejak dua tahun terakhir, KJA muncul dan terus bertambah di Danau Singkarak.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa Bilih Singkarak, dengan produksi yang tidak terencana, telah mengalami kelangkaan. Namun, keberadaanya kini masih menjadi favorit masyarakat. Sebelumnya, ikan-ikan bilih di Singkarak diproduksi dengan jumlah yang sangat besar, mencapi 11 ton per tahunnya. Tapi sekarang hanya mampu diproduksi 2-3 ton setahun. Lain halnya dengan Bilih Medan. Di danau Toba, bilih atau ikan pora-pora ini diproduksi hingga mencapai 30 ton per tahun dan terus meningkat setiap tahunnya.

Persoalan yang paling kontras terjadi di Singakarak adalah tidak terencananya durasi panen dan ketersedian stok bilih itu sendiri. Bisa dikatakan tidak peduli, atau bisa juga dikatakan karena tidak tahu. Masyarakat nelayan sebelumnya memang tidak pernah mendapat pembelajaran khusus tentang beternak ikan bilih. Perhatian utama bagi masyarakat hanya keyakinan bahwa bilih dianugerahkan di Singkarak, dan mereka belajar menangkap bilih secara tradisional atau otodidak dari orang tua mereka, lalu menangkap sejauh yang mereka bisa.

Saat ini, beruntung degradasi populasi bilih di Singkarak belum berada dalam kondisi yang fatal. Tinggal bagaimana masyarakat nelayan bekerja sama dan menyusun strategi untuk keberlangsungan mata pencaharian mereka, atau barangkali juga dibutuhkan campur tangan Pemerintah dengan lebih bijak. Di Nagari Sumpur, sebelumnya terdapat aturan mengenai penangkapan bilih, seperti ketetapan ukuran jaring dan jala. Namun, sejak langkanya bilih, aturan ini justru tidak berjalan lagi.

***

Malam itu, di lobi hotel miliknya, Pak Alex berkata, “Kita tidak tahu mau sampai kapan usaha dagang bilih ini akan tetap tutup. Tiap malam, sekitar pukul tiga, masih terdengar ledakan dari tengah danau. Sementara, katanya ada patroli pengawasan ilegal fishing.”∎


artikel ini sebelumnya pernah dipublikasi di rubrik Bernas www.akumassa.org dengan judul Bilih: Ikan Kecil Kita yang Hampir Habis, dan Keluarganya Di Perairan Toba

Footnote

1. Barus, S. R. (2011). Aspek Bioekologi Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker.) di Perairan Danau Toba, Sumatera Utara. Tesis, Universitas Sumatera Utara, Program Magister Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Medan.
2. Oleh situs web fishbase.org, sebelumnya disebut sebagai sinonim dengan status “tidak valid”.
3. Whitehead, P. J. (1966). The types of Bleeker’s Indo-Pacific elopoid and clupeoid fishes. Leiden: E. J. Brill.
4. Pes adalah sebutan untuk kotak yang biasa digunakan untuk mengangkut ikan. Biasanya, satu pes dapat membawa sebanyak 40 kg ikan bilih basah.
5. Bilih naik, istilah yang biasa digunakan para penangkap bilih untuk menandakan bahwa bilih yang sebelumnya bermain di danau, naik ke sungai-sungai untuk bereproduksi.
6. Ikhsan, R. (2005). Penyebab Penurunan Produksi Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) di Danau Singkarak. Jurnal, Universitas Andalas, Program Pascasarjana, Padang.
7. Haluan. (2015, Februari 12). Puluhan Ton Ikan Mati di Danau Singkarak.
8. Kompas.com. (2011, Mei 19). “Budidaya di Danau Singkarak Ditentang, ed. A. Mulyadi.

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.