Kawa Daun

Orang Melayu sering kali disapa sebagai peminum kopi. Setidaknya begitulah pendapat beberapa media mancanegara. Tanah Melayu pun juga dijuluki surganya kopi oleh para penjajah kita terdahulu. Tanaman kopi tumbuh subur dan hadir ke dalam gelas dengan berbagai cara dan berbagai bentuk. Ada satu jenis kopi yang jarang ditemui dikedai-kedai kopi nusantara ini. minuman Kawa Daun.

Tapi apakah Kawa Daun benar bisa dikatakan miunuman jenis kopi atau tidak, belum ada kesepakatan bersama. Beberapa media dan masyarakat menyebutnya sebagai minuman jenis teh. Dan ada pula yang menyebutnya sebagai minuman jenis kopi. Mungkin kesepakatan itu bisa kita ambil setelah mengetahui minuman ini lebih lanjut. Saya harap pembaca tidak terpengaruh karena pada bagian awal saya berbicara tentang kopi.

Minuman ini dikenal dengan panggilan Kawa Daun, Kawa adalah istilah yang berkembang di Melayu diambil dari bahasa arab; Qhawa/Khawa yang artinya kopi. Sedangkan daun adalah bahasa universal di Indonesia; daun, bagian dari tanaman yang tumbuh dari batang. Bentuk dan fungsinya pun bermacam macam. Ada yang kemudian berevolusi menjadi buah, ada yang menjadi bunga, ada yang menjadi sampah dan ada yang hanya sebatas daun. Dan daun pun dapat menadi bahan pokok minuman. Seperti minuman Kawa Daun ini.

Jika defenisi minuman kopi, adalah minuman yang terbuat dari biji kopi, sepertinya Kawa Daun belum termasuk bagian dari itu. Tapi jika defenisi minuman kopi adalah minuman hasil olahan tumbuhan kopi. Maka saya dan pembaca harus setuju bahwa minuman ini adalah salah satu jenis minuman kopi.

Minuman Kawa Daun adalah minuman khas yang bisa ditemui di beberapa titik daerah Batusangkar. Ini bukan karena bahan pokoknya hanya ada di Batusangkar, tapi orang-orang tau bahwa gagasan ini berasal dan populer di Batusangkar dan beberapa daerah disekitarnya.

Cara menyajikannya cukup sederhana. Beberapa daun kopi yang telah dipetik, dijemur hingga kering. Ada juga yang mengasapinya biar lebih cepat kering. Kemudian Daun kopi yang telah kering itu direbus, beberapa menit, dan hidangkan airnya. Kawa daun sudah bisa anda nikmati. Simpel bukan?

Jika berimajinasi tentang awal munculnya jenis minuman ini, beberapa orang barangkali akan beranggapan minuman ini hanyalah hasil karya iseng-iseng beberapa petani kopi yang diam-diam bereksperimen dari daun kopi dan sebagainnya. Saya sempat berfikir mungkin penemu pernah mengunyah daun kopi dan tertarik untuk menyajikannya sebagai minuman.

Tapi cerita tentang Kawa Daun ini semakin menarik ketika berkomunikasi dengan seorang teman di Malaysia, dari cerita yang pernah dia dengar, orang Belanda pernah memberikan gelar pada masayarakat Minangkabau sebagai, Melayu Kopi Daun. Bagi saya ini semakin menarik karena Belanda sudah ambil porsi pula disini.

Beberapa orang yang saya temui mengatakan bahwa minuman ini, adalah salah satu produk budaya masa lampau ketika Belanda sedang berkuasa di Indonesia. Pada masa itu, konon Belanda tidak mau berbagi biji-biji hasil panen kopi. Diperkirakan ini pada abad 19-an ketika harga  kopi di Eropa yang cukup tinggi. Beberapa petani kopi berhasil menciptakan sebuah temuan baru. Mungkin juga bukan temuan baru. Barangkali cara alternaif. Dan lahirlah Kawa Daun. Namun sepertinya pemerintah belanda tidak tertarik untuk mencuri gaya ini.

Beberapa malam lalu (27/08) saya bersama Uda saya, Aldi Brangin mengunjungi salah satu kedai yang memproduksi minuman Kawa Daun. Letekanya di wilayah Kabupaten Tanah Datar, kurang lebih 10 Km sebelum pintu masuk kota Batusangkar dari kota Padang Panjang. Tak jauh dari sana, di Nagari Tabek, saya juga pernah mendengar di sana ada kebun kopi yang cukup besar dikelola untuk kepentingan Belanda. Jadi cerita di atas saya yakin tidak hanya sekedar legenda.

aldi-branginAldi Brangin saat mencicipi minuman Kawa Daun (foto:albert)

Dikedai tersebut saya juga sempat bercerita dengan pemilik warung, waktu itu dia memperkenalkan dirinya sebagi adiak uda jun (adik dari bang Jun). mungkin karena Uda Jun sangat terkenal, tapi entahlah. Saya juga diijinkan untuk melihat dapur pengolahan Kawa Daun ini. Sayangnya waktu kunjungan saya sudah terlalu larut, jadi tidak banyak aktivitas dapur yang saya temui. Saya sempat bertanya kira-kira kenapa belanda tidak mencuri temuan ini jua? Adiak Uda Jun mengatakan, sepertinya belanda kurang tertarik karena daun ini kalau sudah didiamkan 3 (tiga) hari saja tidak bagus lagi. Minuman ini juga low caffeine sedangkan yang di Eropa, pada masa itu orang-orang lebih senang mengkonsumsi minuman ber-caffeine tinggi.

Minuman Kawa daun ini diperkirakan juga ditemukan di beberapa tempat yang memiliki kebun kopi. Namun yang masih eksis, dapat ditemui di Batusangkar ini. Seperti yang dikatakan Uda Aldi Brangin, minuman serupa juga ditemui dibeberpa daerah seperti Bukittinggi, Payakumbuh, dan Beberapa daerah di Sumatera Barat. Dikedai yang kami kunjungi ini minuman Kawa Daun disajikan dengan gelas unik, terbuat dari tampuruang (batok buah kelapa) yang dibelah dua. Karena tampuruang tidak memiliki sisi datar maka dibantu dengan bamboo yang dipotong (bukan dibelah), kira-kra setinggi 5 Cm (Baca; lima sentimeter), sisi cembung tampuruang ditompangkan di potongan bamboo tersebut.

Sajian yang bagi saya sangat menarik. Saya sangat yakin pemilik menggunakan, tempat minum yang sedemikian rupa pasti bukan karena mereka tidak mampu membeli gelas kaca, atau gelas plastic yang lazim ditemukan di kedai-kedai kopi. Ini mungkin permasalahan tradisonal, karena kalau defenisi tradisonal adalah kebiasan alamiah nenek moyang kita terdahulu sepertinya benar karena konon disini selain bamboo, tampuruang juga menjadi gelas oleh nenek moyang kita terdahulu.

stok-gelasPersedian Gelas

____________

artikel ini sebelumnya dipublikasi di www.gubuakkopi.org dan di blog BUJANGKATAPEL

Albert Rahman Putra, biasa disapa Albert, adalah seorang penulis, kurator, dan pegiat budaya. Merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, dengan fokus studi pengkajian seni karawitan. Dia adalah pendiri Komunitas Gubuak Kopi dan kini menjabat sebagai Ketua Umum. Albert aktif sebagai penulis di akumassa.org. Ia juga memiliki minat dalam kajian yang berkaitan dengan media, musik, dan sejarah lokal Sumatera Barat. Manager Orkes Taman Bunga. Tahun 2018 bersama Forum Lenteng menerbitkan buku karyanya sendiri, berjudul Sore Kelabu di Selatan Singkarak. Ia merupakan salah satu kurator muda terpilih untuk program Kurasi Kurator Muda yang digagas oleh Galeri Nasional Indonesia, 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.