Mimpi Untuk Tanah Lahir

Impian Rahmi untuk tanah lahirnya, Desa Subarang Danau, Alahan Panjang, Kabupaten Solok –  Sumatera Barat

Oleh: Rahmia Novaliza

    Aku tak  pernah bosan dengan kesejukan ini,dengan hijau yang masih segar dengan panas yang kadang kala terasa terik. Disni juga aku bisa memanjakan pandangan mata, dimana tak kutemui ditempat kerjaku, yang berkutat diruangan dan dilayar komputer. Kesejukan yang selalu kurindu.

Kupandangi tanaman cabe yang ditanam disawah yang sudah dikeringkan, subur dan menghijau. Sejenak  fikiranku melayang ke masa kecil dulu, Di mana hijau itu adalah padi, dengan genangan air yang tidak terlalu dalam, hijau yang menjanjikan keindahan lain tentunya, sesuatu yang kurindukan, tapi yang ini takkan kutemui lagi.

Tentang kehidupan masyarakat disini, katakan hampir seluruhnya bertani, kalau dahulu kesawah, sekarang sawah sawah itu telah dijadikan ladang. Karena kalau bertanam padi dilajutkan, hanya membuahkan kerugian besar, serangan dari tikus sawah yang membludak, penduduk  hanya mampu mengelus dada karena tak bisa menuai padi yang rusak saat panen tiba.

Dari tahun ke tahun tidak ada kemajuan, malah kehidupan masyarakat semakin sulit saja, paling tidak itulah yang kutangkap dengan pandanganku setiap 1 (satu) kali empat bulan aku pulang kampung. Terkadang aku berfikir, bukankah mereka sudah bekerja setiap hari, maksudnya pergi ke ladang, menanam Bawang, Kol, Kentang, tapi mereka mengeluhkan harga yang murah.

Aku sempat berfikir, cara mereka bercocok tanam, tidak pakai teori, praktek saja. Makanya sering meleset dengan harga pasaran, mereka akan berbondong bondong menanam cabe, kalau harga cabe lagi melambung tinggi. Bawang merah yang harganya sedang menurun drastis diabaikan begitu saja. Tentu saja karena semua sudah menanam cabe, harga cabe jadi menurun dan harga bawanglah yang mendadak melonjak. Sudah sering yang sepert ini terjadi, tapi sepertinya mereka tidak jera. Inilah yang menurutku praktek tanpa teori. Dan hasilnya sia sia.

Yang membuat hatiku miris, difaktor pendidikan kampungku tidak memiliki 50 persen kepedulian. Ini mengecewakan, setiap kenaikan kelas aku mengusahakan pulang kampung. Melihat perkembangan pendidikan 3 (tiga) orang adikku, aku juga tidak segan segan bertanya kepada ibu-ibu atau bapak-bapak tentang anak mereka yang kebetulan tamat sekolah. Aku juga senantiasa memberikan masukan sekolah mana yang bagus dimasuki dengan biaya yang tak terlalu menyulitkan, mengingat kehidupan masyarakat yang rata-rata di garis kemiskinan. Banyak bahkan diantara mereka yang menjawab sekenanya ’’Untuk apa sekolah, toh nggak akan jadi pegawai,’’Dan jawaban seperti inilah yang paling mengecewakanku. Kalau semua masyarakat dikampungku berfikiran seperti ini, aku pastikan sepuluh tahun lagi kampung ini akan tetap tertinggal,tidak ada kemajuan.

Dengan pengalaman yang aku dapat dari keseharian dipekerjaanku, aku mulai berfikir mungkin, satu satunya cara memasukkan pemikiran-pemikiran maju, yakni dengan memberikan mereka buku bacaan. Atau tepatnya mendirikan sebuah Rumah baca, yang akan membantu anak anak sekolah menjadi semangat sekolah, dengan membaca tentu saja mereka akan mengenal banyak dunia indah diluar sana. Dengan begitu keinginan mereka untuk sekolah akan lebih besar. Menyediakan rumah baca untuk semua kalangan, untuk ibu ibu Rumah tangga, buku-buku tentang pertanian, buku-buku yang memotivasi, sehingga tidak ada lagi waktu yang akan terbuang percuma. Aku merasa optimis jika ini terwujud dalam kurun waktu setahun atau dua tahun, pasti bisa dilihat kemajuan didesa terpencilku. Paling tidak mengurangi jumlah anak yang memilih keladang, kesawah, dari pada sekolah.

Dengan membacalah satu satunya harapanku, untuk mengubah pola pandang masyarakat, tentang pentingnya dunia pendidikan. Untuk saat ini, semuanya hanya menjadi rencanaku sendiri, pernah aku menceritakannya kepada sesama teman perantauku, mereka menertawakanku. ‘’Kenapa repot-repot mengurus oranglain.’’

Aku tidak patah semangat, secara perlahan aku harus menumbuhkan minat baca kepada adik-adik, calon penerus kampungku nantinya. Bukan tidak ada usaha, setiap pulang kampung aku menyediakan puluhan majalah anak, walaupun rata-rata terbitan lama dan sudah bekas, tapi masih bisa dibaca. Siapa sangka mereka sangat antusias, bahkan sekarang setiap aku pulang, mereka menungguku, menanyakan apakah ada membawa majalah baru? Menurutku ini sebuah keberhasilan yang patut kubanggakan, karena dengan begitu lebih mudah bagiku untuk memberikan mereka pengarahan, bagaimana memahami apa yang dibaca, bagaimana bisa menulis dimajalah yang saat ini mereka baca. Setiap pulang kampung sesudah buku kubagikan, biasanya kalau cukup waktu aku meminta mereka untuk menulis apa saja tentang majalah yang mereka baca.
Tapi mungkin saja suatu saat aku punya waktu dan dukungan dari beberapa orang, mencari lokasi dan mengajukan propasal ke PEMDA. Semoga suatu saat nanti mimpi indah ini menjadi nyata, amin.

________________________________________________________________

Penulis:
Rahmia NovalizaRahmia Novaliza, Lahir 23 tahun silam, di desa Subarang Danau, Alahan Panjang, Kabupaten Solok –  Sumatera Barat. Seorang wanita yang gemar membaca, dan menulis. Beberapa karya tulisnya juga pernah dimuat di media lokal maupun nasional dan hingga saat ini Rahmi sudah memiliki dua buah buku Antologi karyanya. Perempuan yang memiliki motto hidup “tak ada yang mustahil” bermimpi untuk mendirikan sebuah Rumah Baca untuk adik-adik didesanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.